Beberapa hari terakhir, Georgia menarik perhatian dunia setelah Perdana Menteri Irakli Kobakhidze mengumumkan penundaan pembicaraan keanggotaan Uni Eropa (UE) hingga 2028. Keputusan ini memicu reaksi keras di dalam dan luar negeri serta mendorong ribuan orang turun ke jalan di Tbilisi dan kota-kota lain. Sebagian besar masyarakat Georgia menginginkan integrasi lebih erat dengan UE dan merasa dikhianati oleh kebijakan pemerintah.
Mimpi Integrasi dengan Eropa yang Tertunda
Uni Eropa telah lama menjadi tujuan strategis Georgia sejak merdeka dari Uni Soviet pada 1991. Negara ini terus berupaya memperkuat hubungan dengan Eropa sambil mengatasi tantangan domestik, termasuk konflik berkepanjangan dengan Rusia. Bagi banyak warga Georgia, keanggotaan UE melambangkan stabilitas demokrasi, kemakmuran ekonomi, dan keterikatan dengan dunia Barat.
Namun, Kobakhidze memutuskan menunda pembicaraan hingga 2028—langkah yang mengejutkan banyak pihak. Pemerintah beralasan bahwa mereka butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan reformasi kriteria keanggotaan, seperti perbaikan di bidang hukum, HAM, dan kebebasan pers.
Protes Massa dan Kritik Oposisi
Masyarakat Georgia menolak penundaan ini. Ribuan orang, terutama kaum muda pro-Barat, membanjiri jalan-jalan Tbilisi. Mereka menuntut pemerintah mempercepat integrasi dengan UE dan menghentikan kebijakan yang dianggap terlalu lunak terhadap Rusia. Bagi mereka, UE bukan sekadar tentang ekonomi, tetapi juga kebebasan politik dan perlindungan HAM.
Oposisi, seperti Gerakan Nasional Bersatu (UNM), menuduh pemerintah mundur dari komitmen integrasi Eropa. Mereka menganggap keputusan ini sebagai langkah mundur yang dapat membawa Georgia kembali ke pengaruh Moskow.
Respons Internasional dan Pembelaan Pemerintah
Uni Eropa menyatakan kekecewaan atas keputusan Georgia. Pejabat UE menekankan pentingnya percepatan reformasi bagi negara kandidat. Mereka khawatir penundaan ini memberi kesan kurangnya komitmen Tbilisi.
Namun, Kobakhidze bersikukuh bahwa keputusan ini demi kepentingan nasional. Menurutnya, memaksakan tenggat waktu justru berisiko merusak stabilitas. Pemerintah ingin memastikan semua reformasi berjalan matang sebelum bergabung dengan UE.
Masa Depan Georgia dan Tantangan ke Depan
Ketegangan politik dan sosial terus meningka
t. Pemerintah kini menghadapi ujian besar: meredam protes sambil membuktikan keseriusan reformasi. Jika gagal, kepercayaan publik dan dukungan internasional bisa terkikis.
Dengan waktu panjang hingga 2028, Georgia harus memastikan penundaan bukan sekadar alasan, melainkan kesempatan untuk mempersiapkan diri lebih baik. Masa depan hubungan Georgia-UE tergantung pada kemampuan pemerintah mewujudkan perubahan nyata.